Beranda | Artikel
Hubungan Badan (Jima)
Rabu, 29 April 2020

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN DAN MERUSAK PUASA

Puasa berarti menahan diri dengan disertai niat dari hal-hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar (kedua-ed) sampai terbenamnya matahari. Hal-hal yang membatalkan puasa itu adalah:

  1. Hubungan badan (jima’).
  2. Keluarnya mani.
  3. Makan dan minum.
  4. Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum.
  5. Hijamah (bekam).
  6. Muntah dengan sengaja.
  7. Keluarnya darah haidh dan nifas.

Keterangan secara rinci tentang hal-hal tersebut dirangkum dalam beberapa pembahasan berikut ini:

Pembahasan 1
HUBUNGAN BADAN (JIMA’)
Jika orang yang berpuasa melakukan hubungan badan pada siang hari di bulan Ramadhan, maka puasanya batal dan dia harus bertaubat dan memohon ampunan sekaligus mengqadha’ puasa pada hari di mana dia melakukan hubungan badan. Selain mengqadha’, dia juga wajib membayar kaffarat, yaitu memerdekakan seorang budak. Jika dia tidak dapat memerdekakan budak, maka dia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu juga untuk menjalankan puasa selama dua bulan berturut-turut, maka dia harus memberi makan enam puluh orang miskin dengan satu mudd gandum jenis yang bagus, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, beratnya adalah 562 ½ gram, karena satu sha’ sebanding dengan berat 2 ¼ kg atau selain gandum, yang biasa dijadikan makanan pokok.

Puasa dua bulan berturut-turut tidak bisa digantikan kepada pemberian makan, kecuali jika dia benar-benar tidak mampu menjalankan puasa tersebut karena halangan yang dibenarkan, misalnya jika dia menderita suatu penyakit atau dikhawatirkan munculnya penyakit padanya jika dia menjalankan puasa tersebut. Ada-pun orang yang merasa keberatan karena amalan puasa, maka hal itu tidak bisa dijadikan alasan baginya untuk pindah kepada pemberian makan kepada orang miskin.

Puasa dua bulan tersebut harus dikerjakan dengan berturut-turut dan tidak boleh terputus, kecuali jika ada halangan yang dibenarkan oleh agama, seperti adanya hari raya ‘Idul Fithri atau ‘Idul Adh-ha, hari-hari Tasyriq, waktu haidh dan nifas bagi wanita, serta sakit dan safar yang tidak di sengaja untuk meninggalkan puasa dua bulan berturut-turut.

Dan jika dia berbuka tanpa alasan yang dibenarkan meski hanya satu hari saja, maka dia harus memulai lagi puasa dua bulan itu dari awal sehingga benar-benar ada kesinambungan.

Dalil yang mengharuskan kaffarat itu adalah hadits yang di-riwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Ketika kami tengah duduk-duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seseorang yang mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka aku.’ ‘Apa yang telah membuatmu celaka?’ tanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menjawab: ‘Aku telah mencampuri isteriku sedang aku dalam ke-adaan berpuasa.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Apakah engkau bisa mendapatkan seorang budak dan kemudian memerdekakannya?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: ‘Apakah engkau mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab: ‘Tidak.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: ‘Dan apakah engkau memiliki bekal untuk memberi makan kepada enam puluh orang miskin?’ Dia pun menjawab: ‘Tidak.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terdiam. Dan ketika dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dengan membawa kantong yang berisi kurma, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda: ‘Di mana orang yang bertanya tadi?’ Orang itu menjawab: ‘Aku.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ambil dan bershadaqahlah dengan kurma ini.’ Kemudian orang itu berkata: ‘Adakah orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di antara dua lembah ini keluarga yang lebih miskin dari keluargaku?’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa sehingga gigi taringnya tampak. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Beri makanlah keluargamu dengannya….’”[1]

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: “(Masalah), ada yang mengatakan, ‘Barangsiapa mencampuri isterinya pada kemaluannya, baik mengeluarkan sperma maupun tidak mengeluarkan sperma atau mencampurinya tidak pada kemaluannya lalu dia mengeluarkan sperma dengan sengaja atau lupa, maka dia harus membayar qadha’ dan kaffarat, jika (dilakukan) pada bulan Ramadhan.’

Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa orang yang mencampuri isterinya pada bagian kemaluan, baik keluar sperma maupun tidak keluar atau bukan pada bagian kemaluan lalu dia mengeluarkan sperma, maka puasanya telah batal. Dan hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih.”[2]

[Disalin dari buku “Meraih Puasa Sempurna”,  Diterjemahkan dari kitab “Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab”, karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
_______
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/29) dan Shahiih Muslim (III/139)).
[2] Al-Mughni (IV/372), al-Hidaayah (I/122) karya al-Marghinani, Raudhatuth Thaalibin (II/356), Mawaahibul Jaliil (II/433), al-Furuuq (II/92) oleh al-Qurafi.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/15375-hubunan-badan-jima.html